Empat Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda pendapat atau dissenting opinion dengan anggota Majelis Hakim MK lainnya pada putusan yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pada tanggal 16 Oktober 2023, MK akhirnya mengabulkan untuk sebagian gugatan yang dilayangkan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru terkait batasan usia capres-cawapres dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu. Putusan yang bernomor 90/PUU-XXI/2023 ini mengubah ketentuan terkait batas usia minimal capres-cawapres menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Empat Hakim Konstitusi yang memiliki dissenting opinion yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Nah sebenarnya apa sih itu dissenting opinion?
Menurut Black’s Law Dictionary 8th Edition, dissenting opinion atau pendapat berbeda merupakan an opinion by one or more judges who disagree with the decision reached yang dalam terjemaahan bebasnya berarti pendapat seorang atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil. Dissenting opinion lazim terjadi ketika ada satu hakim atau lebih memiliki pendapat yang berbeda dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara.
Secara bahasa, sederhananya dissenting opinion berarti ada pendapat dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang dicapai oleh mayoritas. Dissenting opinion ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 PMK Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Peraturan MK No 06/PMK/2005).
Berdasarkan Pasal 45 ayat (10) UU MK menyatakan “Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan”. Namun ketentuan untuk memuat pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan MK tidak bersifat wajib sebagaimana diatur lebih lanjut pada Pasal 32 ayat (6) Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 yang berbunyi “Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali hakim yang bersangkutan tidak menghendaki”.
Dissenting Opinion dapat dikatakan sebagai bentuk perwujudan nyata kebebasan seorang hakim dalam memutus perkara. Hal ini sejalan dengan esensi kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial sehingga bebas dari campur tangan pihak manapun dalam memeriksa dan memutus perkara.