Beberapa Ketentuan Terkait Kepailitan dan PKPU dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU PPSK”)

UU PPSK merupakan serangkaian Undang-Undang Omnibus yang telah atau akan dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelaraskan beberapa peraturan di beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang secara komperhensif. Setelah isu terkait cipta kerja, ketentuan selanjutnya yang diatur secara Omnibus adalah terkait sektor keuangan melalui UU PPSK.

Di dalam UU PPSK ini, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang bersifat cukup signifikan terhadap ketentuan hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia. Beberapa ketentuan tersebut mencakup ketentuan permohonan pernyataan pailit/PKPU terhadap perusahaan di sektor keuangan serta ketentuan-ketentuan terkait proses kepailitan yang melibatkan pihak dalam sektor keuangan. Ketentuan tersebut yaitu:

Kewenangan OJK dan Bank Indonesia dalam Permohonan Pailit/PKPU

Perubahan selanjutnya juga terdapat dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan. UU PPSK juga mempertegas kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau PKPU terhadap debitor yang merupakan: 

  1. Bank;
  2. Perusahaan Efek;
  3. Bursa efek;
  4. Penyelenggara pasar alternatif;
  5. Lembaga kliring dan penjaminan;
  6. Lembaga perlindungan pemodal;
  7. Lembaga pendanaan efek;
  8. Lembaga penilaian harga efek;
  9. Perusahaan asuransi;
  10. Perusahaan asuransi syariah;
  11. Perusahaan reasuransi;
  12. Perusahaan reasuransi syariah;
  13. Dana pensiun
  14. Lembaga penjamin;
  15. Lembaga pembiayaan;
  16. Lembaga keuangan mikro;
  17. Penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek;
  18. Penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasi teknologi informasi;
  19. LJK lainnya yang terdaftar dan diawali oleh OJK sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang Lainnya.

UU PPSK juga melakukan perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang terakhir kali diubah dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (“UU Bank Indonesia”). UU PPSK memberikan kewenangan pada Bank Indonesia untuk menjadi satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau PKPU terhadap debitor yang merupakan:

  1. Penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur Sistem Pembayaran;
  2. Penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah;
  3. Perusahaan pialang Pasar Uang;
  4. Penyedia sarana perdaganan; sarana kliring untuk transaksi derivatif suku bungan dan nilai tukar over-the-counter
  5. Lembaga lainnya yang diberikan izin dan/atau penetapan oleh Bang Indonesia sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain itu, UU PPSK menambah Pasal 35D dalam UU Bank Indonesia. Pasal ini mengatur mengenai batasan keberlakuan kepailitan terhadap harta penerbit uang elektronik. Dalam hal penerbit uang elektronik, maka kepailitan tidak meliputi dana yang telah dipisahkan oleh penerbit untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik. 

Rahasia Bank dalam Proses Kepailitan

UU PPSK juga mengubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Perpu Ciptaker. Perubahan terkait kepailitan dalam UU Perbankan lebih berfokus pada ketentuan terkait dengan rahasia bank. Dalam Pasal 40A, atas dasar permintaan kurator dalam proses kepailitan, maka ketentuan terkait rahasia bank tidak berlaku. Berdasarkan permintaan Kurator ini, Bank wajib memberikan informasi berupa informasi mengenai simpanan nasabah penyimpan pada Bank. Perlu diperhatikan ketentuan ini tidak berlaku pada informasi status kredit debitor ataupun tagihan bank pada debitor pailit.

Koperasi Dalam Sektor Jasa Keuangan

UUPPSK mempertegas dan memperluas kedudukan koperasi sebagai salah satu pihak dalam sektor jasa keuangan. Dengan demikian, seluruh perizinan, pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi yang bergerak dalam bidang jasa keuangan akan dilakukan oleh OJK. Sebagai konsekuensinya, maka dapat pula diartikan satu-satunya pihak yang dapat memohon pernyataan pailit/PKPU terhadap koperasi yang bergerak di bidang sektor jasa keuangan adalah OJK.

Ketentuan ini juga sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2022 yang mengatur dualisme kewenagnan terhadap koperasi, yaitu:

  1. Permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap koperasi hanya dapat diajukan oleh Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang perkoperasian.
  2. Permohonan Pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap koperasi yang menjalankan usaha Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang izinnya dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya dapat diajukan oleh OJK.

Ketentuan Close-out Netting Dalam Transaksi di Pasar Uang

Dalam UU PPSK juga terdapat beberapa perubahan terhadap hukum kepailitan di Indonesia. Salah satu perubahan penting yang ada adalah dengan pengaturan mekanisme perjumpaan utang (close-out netting) untuk transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Close-out Netting sendiri merupakan mekanisme yang awalnya diperkenalkan dalam ISDA Master Agreement 2002. Dalam tansaksi di pasar keuangan, salah satu pihak mengalami gagal bayar seperti akibat kepailitan, maka pihak lainnya dapat melakukan netting atau perjumpaan utang dengan menghitung nilai bershih dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban pihak yang mengalami wanprestasi sehingga perhitungan utang dan piutang menjadi lebih sederhana.

Sebelum diberlakukannya UUPPSK Tidak ada undang-undang yang mendefinisikan ketentuan close-out netting atau mengatur mekanisme pelaksanaannya. Padahal, ketentuan close-out netting dianggap sangat penting penguatan sektor keuangan. Mekanisme ini dianggap sebagai instrumen hukum untuk membantu melindungi pihak-pihak yang melakukan transaksi keuangan di Pasar Keuangan atau Pasar Valuta Asing dari risiko wanprestasi. Pengaturan close-out netting merupakan bagian integral dari keseluruhan kerangka hukum untuk menstabilkan dan meminimalisir risiko di pasar keuangan dengan memastikan tingkat likuiditas yang lebih tinggi, close-out netting membantu mencegah pertumbuhan utang yang melemahkan yang dapat mengancam pengaturan keuangan dan menggoyahkan pasar. Adanya kerangka kerja yang harmonis untuk mengatur close-out netting memberikan kepastian dan likuiditas, yang membantu menghindari destabilisasi pasar.

Sesuai dengan UU PPSK, maka ketentuan close-out netting dapat berlaku dalam hal para pihak telah memperjanjikan/dipersyaratkan dalam perjanjian induk. Pemberlakua close-out netting pun dapat dilakukan sebelum putusan kepailitan diucapkan atau sesudah diucapkan. Pelaksanaan close-out netting pun tidak memerlukan permohonan perjumpaan utang. Selain itu, close-out netting juga bersifat final. Sehingga, tidak ada terdapat upaya pembatalan actio puliana atas pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan.

Ketentuan lebih lanjut terkait close-out netting akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

UU PPSK perlu untuk disambut baik sebagai upaya untuk memperkuat sektor keuangan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan kepailitan dan PKPU, para pihak perlu untuk secara jeli memperhatikan norma-norma yang diatur dalam UU PPSK sebagai sarana melindungi hak dan kewajiban para pihak khususnya perkara kepailitan dan PKPU yang melibatkan lembaga jasa keuangan.

**********

1 Response

Leave a Reply

× How can I help you?