Ditengah riuh rendah penggusuran Kampung Pulo saya tertarik dengan liputan TV tentang adanya makam K.H.Kosim yang dikeramatkan warga Kampung Pulo sejak lama . Digambarkan bahwa makam dimaksud telah ada di tengah kampung sejak tahun 1947. Ternyata Kampung Pulo adalah tempat yang memiliki sejarah yang jelas. Kampung Pulo ternyata bukan sekedar tanah kosong yang diduduki oleh orang-orang pendatang. Ada indikasi penyimpangan dalam proses penggusuran Kampung Pulo oleh Pemerintah DKI. DKI menyatakan bahwa tanah-tanah Kampung Pulo tidak perlu diganti rugi karena tidak bersertifikat.
DKI menganggap justru warga Kampung Pulo telah menempati tanah negara tanpa ijin. DKI sama sekali tidak menghormati hubungan hukum warga Kampung Pulo dengan lahan yang telah mereka tinggali sejak lama. Penggusuran tanpa menghormati riwayat penguasaan lahan seperti itu mengindikasikan dangkal nya pemahaman para pejabat DKI tentang Hukum Agraria di Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi pemahaman bahwa pemilik tanah tidak bersertifikat hak milik dapat digusur seenaknya adalah langkah mundur puluhan tahun ke belakang seperti cara-cara pencabutan hak pada era penjajahan kolonial Belanda.
Dari statement bahwa tidak ada ganti rugi bagi lahan yang tidak dilandasi Sertifikat Hak Milik terlihat bahwa seakan-akan hubungan hukum seseorang dengan tanah hanya akan dihormati sepanjang dapat menunjukkan adanya sertifikat hak milik. Dalam hal ini DKI telah melupakan bahwa Republik Indonesia baru mengenal proses pensertifikatan tanah setelah berlaku nya UUPA yaitu 24 September 1960 sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah.
Sementara itu riwayat kepemilikan tanah di Indonesia telah dimulai sejak Republik Indonesia belum berdiri. Itulah mengapa Pasal 3 jo Pasal 5 UUPA memberikan kepastian terhadap pengakuan hukum adat dan hak-hak adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Pandangan yang menyatakan bahwa hanya Sertifikat Hak Milik lah yang dapat dijadikan dasar perlindungan hukum nyata-nyata memberikan berseberangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dari Pasal 23 s/d 26 tentang pembuktian hak justru memberikan peluang bagi pemilik tanah untuk menyertakan bukti-bukti dokumen tertentu untuk diajukan sebagai bukti dalam rangka pendaftaran tanah. Lebih jauh lagi bahkan penguasaan fisik selama 20 tahun beturut-turut dapat dijadikan pengganti bukti sepanjang tidak terdapat bukti dokumen.
Sikap DKI yang hanya menghargai Sertifikat Hak Milik adalah menyerupai sikap yang dilandasi asas domein verklaring yang dianut oleh penjajah kolonial Belanda. Asas domein verklaring menentukan bahwa setiap lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan dianggap sebagai milik Negara. Asas ini melingkupi pelaksanaan UU pertanahan kolonial yang dikenal sebagai Agrarische Wet (Staatsblad 55 /1870) yang sudah dicabut sejak berlakunya UUPA pada September 1960. Dapat dikatakan bahwa sikap yang hanya menghargai sertifikat hak milik menggambarkan pemahaman Hukum Agraria yang mundur ke era penjajahan.
Seharusnya DKI menerapkan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Produk hukum ini merupakan pranata paling mutakhir yang menjadi dasar hukum pengambil alihan tanah untuk kepentingan umum. UU ini mengatur tahapan pengadaan tanah dimaksud mulai dari tahapan perencanaan, investarisasi, penilaian ganti rugi, pemberian ganti rugi, hingga pelepasan tanah. Pemerintahan yang berlandaskan hukum sudah seharusnya mentaati ketentuan hukum yang berlaku agar terhindar dari tata cara kolonial yang telah lama ditinggalkan.