Salah satu bagian penting dalam pembangunan infrastruktur pada umumnya adalah pengadaan tanah/lahan. Sebagai contoh, jumlah lahan untuk proyek tol trans Sumatera mencapai 14.335,91 hektar. Pembebasan tanah dalam jumlah masif tentu menimbulkan permasalahan tersendiri. Baik mengenai besaran jumlah ganti kerugian atau justru pemegang hak atas tanah menolak untuk melepaskan tanahnya. Oleh karena itu, beberapa jenis proyek seperti jalan umum, jalan tol atau waduk dan bendungan diberikan ketentuan khusus dalam proses pengadaan tanahnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”) dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“PP No. 19/2021”).
Pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir tanah wakaf, pemilik tanah bekas milik adat, masyarakat hukum adat dan lainnya (untuk selanjutnya disebut “Pemegang Hak”) memiliki hak-hak yang dijamin oleh undang-undang untuk mengajukan keberatan atas besaran nilai dan pembayaran terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan terkait dengan pengadaan tanah. Pengelola atau pengguna proyek akan melakukan konsultasi publik dengan Pemegang Hak atau kuasanya. Dalam tahapan ini, kemudian akan dijelaskan mengenai maksud dan tujuan proyek serta bentuk ganti kerugian. Mengenai bentuk ganti kerugian tersebut didapati dari hasil musyawarah antara pelaksana pengadaan tanah didampingi penilai atau penilai publik dengan Pemegang Hak. Apabila terdapat pihak yang tidak setuju dengan hasil musyawarah maka Pemegang Hak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri setempat paling lama dalam jangka waktu 14 hari kerja. Terhadap keberatan yang diajukan, Pengadilan dapat menolak keberatan atau mengabulkan keberatan dan menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian.
Sedangkan, apabila terdapat pihak yang menolak bentuk dan besarnya ganti kerugian pada musyawarah namun tidak mengajukan keberatan atau menolak hasil putusan pengadilan serta beberapa alasan lain dalam Pasal 89 PP 19/2021. Maka instansi yang memerlukan tanah dapat mengajukan permohonan penitipan ganti kerugian. Apabila Pemegang Hak menolak nilai ganti kerugian yang dibayarkan melalui penitipan, maka Ketuan Pengadilan akan melakukan sidang penetapan penitipan ganti kerugian.
Dalam kaitannya dengan proses keberatan dan penitipan ganti kerugian ini, baru-baru ini Mahkamah Agung melakukan perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“Perma No. 3/2016) melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2021 (“Perma No. 2/2021”). Perubahan ini merupakan tindak lanjut atas diundangkannya UU Ciptaker serta peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah PP No. 19/2021.
Perma No. 2/2021 memperkenalkan beberapa perubahan yang cukup signifikan atas prosedur pengajuan keberatan tersebut. Apabila hari terakhir dari 14 (empat belas) hari tersebut jatuh pada hari libur, maka dihitung pada hari kerja berikutnya. Diantaranya pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender yang mana dalam Perma No. 3/2016 diatur sebagai hari kerja.
Ketentuan dalam Pasal 28 tentang pelaksanaan penawaran ganti kerugian oleh Juru Sita pengadilan terhadap ganti kerugian yang dititipkan juga diperjelas. Dalam ketentuan Perma No. 2/2021 mengatur bahwa berita acara menerima/menolak ganti kerugian harus dibuat paling lama dalam waktu 2 (dua) hari. Selain itu, Perma No. 2/2021 mengatur bahwa permohonan penitipan ganti kerugian harus diputus dalam waktu 14 hari sejak permohonan dinyatakan lengkap. Anehnya, apabila termohon berada di luar yuridiksi pengadilan yang menangani, Perma No. 2/2021 tetap mengatur bahwa batas waktu tetap berpedoman pada batas waktu 14 (empat) belas hari. Perma No. 2/2021 juga mengubah beberapa ketentuan formalitas pengajuan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan 29.
Ketentuan dalam Perma No. 2/2021 merupakan perubahan yang sesuai dengan jiwa UU Ciptaker yang memberikan kepastian kepada para pihak terkait investasi terutama terhadap pembangunan infrastruktur.
**********