Salah satu isu yang ramai menjadi pembicaraan belakangan mengenai dugaan permasalahan keuangan yang dialami oleh beberapa start-up penyedia aplikasi pemesanan hotel online. Sebagai konsekuensi, permasalahan keuangan ini menimbulkan dugaan keadaan gagal bayar kepada pelanggan, mitra dan bahkan vendor-vendor perusahaan tersebut.
Terkait dengan dugaan permasalahan yang terjadi ini, mengingat keunikan sifat/bentuk dari usaha penyedia aplikasi pemesanan hotel serta potensi jumlah klaim yang mugkin timbul, maka pemilihan tindakan yang (secara kolektif) dilakukan para pemegang hak tagih dari perusahaan-perusahaan teknologi informasi tersebut akan sangat berdampak kepada kemungkinan dipenuhinya tagihan-tagihan tersebut (recovery).
Untuk itu, penulis merasa perlu membahas secara umum mengenai keuntungan dan risiko dari beberapa solusi yang dapat diambil oleh para pemegang hak tagih.
Kepailitan dan Perusahaan Teknologi Informasi
Kepailitan secara sederhana dapat dikatakan sebagai prosedur pembayaran utang secara paksa berdasarkan bantuan dari Pengadilan. Dalam prosedur Kepailitan, 2 (dua) atau lebih kreditor yang memiliki piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dimungkinkan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Niaga yang kewenangannya mencakup daerah domisili termohon (debitor).
Apabila seorang debitor telah diputus pailit, maka berlaku sita umum terhadap seluruh aset milik kreditor untuk kemudian akan dilikuidasi serta hasil penjualan asetnya digunakan untuk membayar utang-utang debitor secara merata berdasarkan tingat kedudukan masing-masing kreditor (mis. Tagihan pajak dan/atau biaya kepailitan diutamakan). Permasalahan penjualan aset ini yang menjadi dasar pendapat penulis bahwa kepailitan haruslah dipandang sebagai upaya terakhir khususnya untuk terhadap debitor-debitor perusahaan berbasis teknologi informasi.
Berdasarkan praktik yang pernah terjadi terhadap kepailitan/likuidasi perusahaan berbasis teknologi informasi, beberapa perusahaan teknologi informasi seringkali tidak memiliki aset berwujud yang signifikan untuk dapat dianggap cukup membayar utang-utangnya dalam proses kepailitan. Hal ini terkait erat dengan natur dari perusahaan teknologi informasi yang kebanyakan aset utamanya adalah software, kekayaan intelektual seperti brand serta konsep bisnis. Aset-aset seperti ini di dalam praktik tidak cukup memadai apabila dilelang dan dibagikan hasilnya.
Malah, permohonan kepailtan terhadap perusahaan berbasis teknologi informasi yang usahanya masih berjalan justru berpotensi merusak goodwill perusahaan yang berdampak kepada kemampuan perusahaan tersebut membayar tagihan-tagihannnya.
Solusi Kreatif Penyelesaian Tagihan Terhadap Perusahaan Teknologi Informasi
Tagihan terhadap perusahaan-perusahaan teknologi informasi membutuhkan solusi kreatif guna menjamin agar terbayarnya piutang kreditor. Diantara beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan, renegosiasi dan restrukturisasi seharusnya menjadi salah satu pilihan bagi para pemegang hak tagih. Proses restrukturisasi dan renegosiasi dapat dilakukan baik secara sukarela dan inisatif para pihak, atau secara paksa melaui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”). Renegosiasi dan restrukturisasi yang dilakukan secara sukarela pada umumnya memiliki tenggang waktu yang lebih fleksible dan biaya yang lebih rendah. Sedangkan, apabila renegosiasi dan resktrukturisasi melalui PKPU, maka terdapat biaya-biaya terkait proses PKPU serta batas waktu 270 hari.
Renegosiasi dan restrukturisasi sukarela pada umumnya menjadi solusi utama, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk PKPU menjadi solusi akhir. Hal ini mengingat PKPU masih memungkinkan untuk debitor melanjutkan usahanya sembali memulihkan kinerja keuangan. Dalam proses PKPU, debitor juga dapat dipaksa menjelaskan kondisi keuangannya dan jumlah kreditor sebenarnya sehingga dapat memberi pemahaman yang jelas mengenai kemampuan debitor.
******