Pada tanggal 30 Januari 2023, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (“PP 5/2023”). Peraturan ini diterbitkan untuk mengatur sinergi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam proses penegakan hukum di sektor Jasa Keuangan.
Tindakan pidana sektor jasa keuangan yang dimaksud dalam Peraturan ini adalah delik-delik pidana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan terkait jasa keuangan, misalnya dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Salah satu contoh delik yang umum diatur adalah pidana melakukan kegiatan jasa keuangan tanpa izin.
Sebelumnya, Bab XI Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) telah mengatur mengenai penyidikan dalam sektor jasa keuangan. Salah satunya terkait kewenangan OJK untuk mengangkat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) dalam melakukan penyidikan terkait tindak pidana di sektor jasa keuangan. PP 5/2023 kemudian memberikan ketentuan lanjutan mengenai syarat dan proses pengangkatan PPNS.
Salah satu bagian penting dari PP 5/2023 adalah terkait koordinasi penyidikan antara Kepolisian Republik Indonesia dengan OJK. PP 5/2023 menekankan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium (Pasal 7 ayat (1)) dalam proses penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal ini terlihat dari proses penyidikan yang harus dilaksanakan bersama-sama antara Kepolisian Republik Indonesia dan OJK termasuk dalam pelaksanaan gelar perkara, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, upaya paksa termasuk juga menentukan penyidik pertama yang menangani perkara.
Selain itu, PP 5/2023 juga memberikan kewenangan kepada OJK untuk menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan, di dalam tahap penyelidikan, terduga pelaku tindak pidana dapat mengajukan permohonan kepada OJK untuk menyelesaikan pelanggarannya. Penyelesaian ini dilakukan dengan penilaian oleh OJK dan penyelidik, penyidik atau pihak lain dengan mempertimbangkan paling sedikit:
- Ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul sebagai akibat tindak pidana;
- Nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
- Dampak terhadap sektor jasa keuangan, Lembaga jasa keuangan, dan/atau kepentingan nasabah, pemodal atau investor, dan/atau masyarakat.
Apabila telah disepakati penyelesaian, maka terduga pelaku tindak pidana harus membayar ganti kerugian yang disepakati kepada pihak yang dirugikan. Apabila telah terpenuhi, maka OJK menghentikan penyelidikan. Meskipun sudah disepakati ganti kerugian dan penghentian penyelidikan, PP 5/2023 tetap memberikan kewenangan kepada OJK untuk memberikan sanksi administratif kepada pihak yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
PP 5/2023 ini merupakan langkah baik untuk mengingatkan kepastian hukum dan kualitas proses penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan. PP 5/2023 memberikan struktur yang jelas khususnya dalam implementasi prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium dalam proses penyidikan.
*************