Salah satu kekhususan hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia adalah diterapkannya sistem pembuktian sederhana. Dalam permohonan pailit dan PKPU, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana yaitu:
- Ada 2 (dua) atau lebih kreditor;
- Tidak membayar lunas utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan
- Perbedaan jumlah utang tidak menghalangi untuk dikabulkannya permohonan Pailit.
Dalam praktik, alasan tidak terbuktinya keadaan-keadaan di atas secara sederhana menjadikan sebuah permohonan pailit ditolak. Oleh karena itu, sangat penting bagi kreditor / debitor untuk memahami hal-hal apa saja yang memunculkan suatu keadaan yang dapat terbukti secara sederhana atau tidak.
Dalam beberapa kasus di Indonesia, utang tidak sederhana juga menjadi alasan untuk penolakan permohonan PKPU seperti dalam perkara No. 274/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst antara PT Dewata Bahtera Internasional melawan PT Pancaputera Margasejahtera. Selain itu, bantahan terhadap suatu keabsahan piutang menjadikan suatu piutang menjadi tidak sederhana. Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT Telekomunikasi Selular melawan PT Prima Jaka Informatika tanggal 21 November 2012, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Permohonan Pailit Pemohon tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU karena kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4). Pada pokok nya dalil utang tidak sederhana dilandasi beberapa hal seperti:
- utang bukan bersumber dari utang piutang murni melainkan perjanjian lain seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemborongan dan kontrak lainnya.
- perjanjian tersebut meskipun menimbulkan tagihan tertentu namun juga masih dibebani perbedaan pendapat mengenai sah atau tidak nya tagihan, Misalnya, terkait dengan bangunan yang dibangun menyimpang dari spesifikasi yang dijanjikan.
Demikian pula dalam perkara Pancaputera terbukti bahwa kerjasama antara Pancaputera dengan pemohon tidaklah dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan secara sederhana.
Oleh karena itu, dalam hal pihak debitor dapat membuktikan bahwa utang yang dijadikan dasar permohonan dibantah keabsahannya (bukan jumlah utangnya) dapat menjadikan suatu utang tidak sederhanan karena masih membutuhkan pembuktian perdata lebih lanjut untuk membuktikan apakan piutang tersebut sah atau tidak. Seorang debitor harus memberikan bukti dalam korespondensi dengan kreditor bahwa ia telah membantah utang tersebut secara konsisten atau bahkan telah mengajukan gugatan perdata. Sedangkan bagi kreditor, ia harus membuktikan bahwa debitor telah mengakui piutangnya misalnya dengan telah membayar bunga.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bagi para tertagih untuk lebih menyadari sederhana atau tidak nya sebuah tagihan. Kehati-hatian ini utamanya untuk menghindari jebakan PKPU yang bersumber dari suatu perbedaan pendapat yang masih belum dapat dibuktikan secara sederhana.