Implikasi Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Terhadap Tanggung Jawab Korporasi

Pada tanggal 2 Januari 2023, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP 2023), yang diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia pada tanggal yang sama dan diberlakukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1. KUHP 2023 akan mulai diberlakukan setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkannya yakni berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 dan secara praktis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memberlakukan Undang-Undang KUHP Tahun 1915 atau disebut dengan Wetboek van Strafrecht/WvS (selanjutnya disebut “KUHP 1946”) tidak lagi berlaku.

Pengaturan dalam KUHP 2023 memiliki beberapa perbedaan yang signifikan apabila dibandingkan dengan KUHP 1946, terutama mengenai pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban Korporasi serta bentuk pemidanaannya. Hal ini menimbulkan banyak pro dan kontra dalam perjalanan pengesahannya, banyak kelompok menilai pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut membatasi ruang gerak Korporasi dan membuatnya berada di posisi yang rentan dengan terdapat ketentuan pertanggungjawaban pidana, dimana bukan lagi terbatas pada pengurus atau individu yang memiliki kedudukan fungsional dalam Korporasi.

KUHP 1946 hanya mengatur pribadi kodrati sebagai subjek hukum pidana dan belum mengakui Korporasi sebagai subjek hukum pidana, dikarenakan masih menganut asas societas delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana) atau universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat dipidana). Korporasi dianggap tidak dapat melakukan kegiatan sebagaimana manusia, maka apabila terjadi tindak pidana yang melibatkan Korporasi tanggungjawab pidana akan dibebankan pada individu yang melakukan tindak pidana serta individu yang memiliki kedudukan fungsional dalam Korporasi. Hal ini kemudian juga diaplikasikan pada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal terkait Korporasi.

 Sementara, KUHP 2023 memperluas definisi “Orang” sebagaimana yang sebelumnya dalam KUHP 1946 hanya diartikan sebagai pribadi kodrati/ natuurlijk persoon menjadi termasuk juga Korporasi.  Hal ini sebagaimana diatur pada Bab V mengenai ‘pengertian istilah’ Pasal 145 KUHP 2023 yang menyebutkan bahwa: “Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk Korporasi”. Kedudukan Korporasi yang disamakan dengan pribadi kodrati turut mempengaruhi definisi Korporasi dalam KUHP 2023. Pengertian Korporasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 146 KUHP 2023 memiliki cakupan yang luas dibandingkan dengan pergertiannya di dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dimana Korporasi termasuk kumpulan orang dan/atau kekayaan baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Pengaturan definisi Korporasi dan juga statusnya sebagai subjek hukum yang disamakan dengan pribadi kodrati dalam KUHP 2023, berimplikasi pada terbukanya peluang pengenaan delik pidana umum kepada Korporasi, dan tidak terbatas lagi pada delik pidana khusus.

Namun, pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum tidak serta merta menjadikan Korporasi sebagai subjek hukum yang rentan dikenakan pertanggungjawaban pidana. Apabila merujuk pada definisi Tindak Pidana oleh Korporasi dalam KUHP 2023, tindak pidana Korporasi merupakan suatu lingkup pidana yang bergantung pada subjek yang melakukan tindak pidana dan keterlibatan Korporasi. Pasal 46 KUHP 2023 mengatur Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Definisi tindak pidana oleh Korporasi ini juga berdampak pada klasifikasi tindakan pidana yang dapat di identifikasi sebagai Tindak Pidana oleh Korporasi guna efektifitas pengenaan pertanggung jawaban pidana Korporasi.

Pasal 47 KUHP 2023 mengatur bahwa Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dipertanggungjawabkan jika (a) perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi, (b) menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; diterima sebagai kebijakan Korporasi, (c) Korporasi tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan upaya pencegahan untuk mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana (d) dan/atau Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Apabila Korporasi memenuhi unsur pada Pasal 47 KUHP 2023, maka kedudukan Korporasi dalam pertanggungjawaban pidana setara dengan individu pelaku tindak pidana, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 49 KUHP 2023 yang mengatur bahwa Korporasi memiliki kedudukan yang sama dengan pelaku tindak pidana oleh Korporasi lainnya seperti pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.

Dalam hal  suatu Korporasi terbukti terlibat atau melakukan suatu tindak pidana maka akan dikenakan pidana (sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana). Pasal 118 KUHP 2023 mengatur pidana bagi Korporasi terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok sebagaimana dimaksud adalah pidana denda [dijatuhi paling sedikit kategori IV]. Sedangkan, pidana tambahan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud terdiri atas (a) pembayaran ganti rugi, (b) perbaikan akibat Tindak Pidana, (c) pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan, (d) pemenuhan kewajiban adat, (e) pembiayaan pelatihan kerja, (f) perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana, (g) pengumuman putusan pengadilan, (h) pencabutan izin tertentu, (i) pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, (j) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan Korporasi, (k) pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi, (l) dan pembubaran Korporasi.

Kemudian berdasarkan Buku Kesatu Pasal 56 KUHP 2023, pembebanan pidana terhadap Korporasi ini dilakukan dengan pertimbangan (a) tingkat kerugian dan dampak yang ditimbulkan, (b) keterlibatan Korporasi (Kerjasama), (c) tingkat keterlibatan individu pelaku tindak pidana yang mempunyai kedudukan di Korporasi, (d) atau adakah keuntungan yang di dapat Koporasi dari peristiwa tersebut. Jika memenuhi unsur-unsur tersebut maka Korporasi dapat dibebankan tanggung jawab pidana. Pengaturan pengenai pertimbangan akan pembebanan pidana ini merupakan suatu upaya penilaian objektif untuk mencegah adanya kesewenangan pembebanan tanggungjawab pidana kepada Korporasi dan melindungi Korporasi dari upaya jahat pihak-pihak yang memanfaatkan peraturan KUHP 2023 untuk menjerumuskan Korporasi atas keterlibatan terhadap suatu Tindak Pidana.

Pengaturan Korporasi sebagai subjek hukum pidana oleh KUHP 2023 berperan sebagai payung hukum dalam pengaturan tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban kepada Korporasi. Hal ini membuka peluang penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan menjadi tidak terbatas pada individu yang memiliki kedudukan fungsional tetapi juga bagi Korporasi. Korporasi tidak dapat menghindari sepenuhnya kemungkinan akan pembebanan tanggung jawab pidana. Langkah preventif yang dapat diambil guna meminimalisir resiko tersebut adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan oleh Korporasi terhadap para individu yang bekerja di dalamnya dan membuat kebijakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Leave a Reply

× How can I help you?