Generated with AI ∙ January 30, 2024 at 4:10 PM

Pembuktian Sederhana Dalam Permohonan PKPU terhadap Pengembang

Pada tanggal 29 Desember 2023, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) Muhammad Syarifuddin menetapkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA). Penetapan SEMA tersebut merupakan hasil dari Rapat Pleno Kamar MA yang diselenggarakan dari tanggal 19 November 2023 sampai dengan 21 November 2023.

Tujuan dari adanya Rapat Pleno Kamar tersebut adalah untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan berdasarkan permasalahan teknis yudisial dan non-teknis yudisial yang mengemuka pada setiap kamar. Ada berbagai rumusan yang dihasilkan oleh Pleno masing-masing kamar. Salah satu diantaranya adalah Rumusan Pleno Kamar Perdata.

Dalam bidang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kamar Perdata merumuskan suatu ketentuan bahwa “Permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

Dari ketentuan tersebut, penting untuk digarisbawahi bahwa yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pembuktian secara sederhana hanyalah permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang apartemen dan/atau rumah susun, sehingga dapat dipastikan tidak mencakup terhadap pengembang rumah tapak. Oleh karena itu penting untuk dibahas apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana dalam Hukum Kepailitan dan apa konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya SEMA No 3 Tahun 2023 ini.

Pembuktian Sederhana dalam Hukum Kepailitan

Berkenaan dengan pembuktian secara sederhana dalam permohonan pailit terhadap debitor tertentu diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). Adapun bunyi dari Pasal 8 ayat (4) tersebut yakni “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.

Penjelasan dari Pasal ini adalah “Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit”.

Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Dari kedua Pasal tersebut dapat diketahui bahwa maksud dari pembuktian sederhana tersebut adalah tentang pengabulan permohonan pernyataan pailit yang dapat dikabulkan dalam hal terbukti secara sederhana bahwa debitor memiliki dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang telah jatuh waktu tempo serta tidak dibayarkan tanpa memperhatikan besarnya jumlah utang. Sehingga pembuktian secara sederhana ini merupakan prinsip yang penting dalam Hukum Kepailitan.

Meskipun begitu, UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan rumusan yang begitu jelas dan rinci terkait dengan pembuktian secara sederhana, sehingga membuka ruang untuk penafsiran yang lebih lanjut. Para Hakim memiliki diskresi yang luas untuk menafsirkan pembuktian sederhana dalam menyelesaikan perkara kepailitan, hal ini disebabkan tidak jelasnya indikator-indikator pembuktian sederhana, apakah dengan tidak diajukan sanggahan terhadap bukti dapat dikatakan sederhana? Dan apabila ada sanggahan dapat dikatakan pembuktian menjadi tidak sederhana?.[1]

Menurut Rio Christiawan, pembuktian utang dalam pengadilan niaga dimulai dengan adanya pembuktian secara formal yakni perjanjian utang piutang karena tanpa adanya perjanjian tersebut, suatu perselisihan utang piutang secara formal tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan niaga baik melalui PKPU atau Kepailitan[2].

Lebih lanjut, Rio menjelaskan bahwa sifat pembuktian sederhana dalam perkara PKPU atau Kepailitan adalah pengakuan terhadap perjanjian utang piutang baik dari kreditur dan debitur[3]. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut, perjanjian utang piutang yang dibantah atau tidak diakui oleh kreditur dan debitur tidak memenuhi sifat pembuktian sederhana.

Salah satu contoh yang berkaitan dengan permohonan PKPU yang ditolak disebabkan perkara tidak dapat dibuktikan secara sederhana adalah Putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT PRIMA JAYA INFORMATIKA dengan PT TELEKOMUNIKASI SELULAR. Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

 “…ternyata Judex Facti telah salah menerapkan hukum, oleh karena apakah benar telah ada utang Termohon kepada Pemohon dalam perkara ini memerlukan pembuktian yang tidak sederhana oleh karena dalil Pemohon tentang adanya utang Termohon kepada Pemohon ternyata dibantah oleh Termohon, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) tentang Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

Oleh karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit, dan tidak sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaiannya harus dilakukan melalui Pengadilan Negeri dan bukan ke Pengadilan Niaga;

Contoh lainnya yakni Putusan Nomor 84/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Sby. Para Pihaknya yakni Willy Gunawan dan Marisca Anggraini Gunawan sebagai Para Pemohon PKPU dan PT GRAHA ORBIT LINTAS DUNIA (CitiNine Property) sebagai Termohon PKPU. Permohonan PKPU bermula dari pemesanan unit rumah yang dibeli/pesan oleh Para Pemohon PKPU dan unit rumah tersebut tidak kunjung diserahkan oleh Termohon kepada Para Pemohon PKPU sesuai dengan kesepakatan.  

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan:

Menimbang, bahwa telah dipertimbangkan dalam putusan No.
50/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Niaga Sby bahwa Surat Pemesanan Nomor
033/CITI9/SP/GHM/XII/2016 atas nama Willy Gunawan (vide bukti surat tertanda P.I.2) dan Surat Pemesanan Nomor 034/CITI9/SP/GHM/XII/2016 atas nama Marisca Anggraini Gunawan (Vide bukti surat tertanda P.II.2) tidak mengatur apabila Termohon PKPU terlambat melakukan menyerahkan rumah kepada Pemohon PKPU maka kewajiban menyerahkan tersebut seketika menjadi utang;

Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa
karena tidak jelas jenis utang Termohon PKPU kepada Pemohon I dan Pemohon II PKPU (utang menyerahkan rumah atau mengembalikan dana yang telah disetor), maka fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar tidak terbukti secara sederhana

Berdasarkan kedua putusan diatas melalui pertimbangan hukumnya dapat diketahui bahwa pembuktian adanya utang piutang antara kreditor dan debitor tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Sehingga diperlukan pembuktian yang lebih jauh melalui Pengadilan Negeri untuk menentukan apakah benar-benar telah terjadi utang piutang. Pada putusan yang pertama, perkara tidak bisa dibuktikan secara sederhana karena Termohon membantah memiliki hutang kepada pemohon, sedangkan putusan yang kedua, tidak jelas jenis utang Termohon sehingga tidak masuk ke dalam kategori pembuktian secara sederhana.

Namun sulit sebenarnya untuk melihat apa yang menjadi indikator telah terjadinya utang piutang yang dapat dibuktikan secara sederhana. Pada akhirnya tentu dikembalikan kepada Para Hakim dalam menafsirkan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU.

Sehubungan dengan keputusan Ketua MA mengeluarkan SEMA tersebut, tentu menjadi pertanyaan mengapa dan apa yang menjadi dasar sehingga permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak dianggap memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana? Sayangnya dasar, alasan atau penjelasan terkait hal ini tidak dikemukakan dalam SEMA tersebut, sehingga sangat sulit untuk mengetahui apa yang menjadi dasar dari Kamar Hukum Perdata dalam mengeluarkan rumusan tersebut. Tentunya hanya orang-orang yang terlibat dalam Rapat Pleno Kamar Hukum Perdata lah yang bagaimana munculnya ketentuan tersebut.

Konsekuensi dari dikeluarkannya SEMA No 3 Tahun 2023

Surat Edaran pada prinsipnya hanya berlaku secara internal pada lembaga yang membuatnya. Sebagaimana secara umum sudah diketahui bahwa surat edaran tidak termasuk dalam hirarki peraturan perudang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Surat Edaran hanyalah merupakan peraturan kebijakan yang mana menurut Bagir Manan bahwa peraturan kebijakan tidak masuk ke dalam peraturan perundang-undangan, meskipun menunjukkan sifat atau gejala sebagai peraturan perundang-undangan[4].

Diterbitkannya SEMA No 3 Tahun 2023 memberikan pedoman kepada Para Hakim Pengadilan Niaga untuk menolak permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun. Hal ini disebabkan karena permohonan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana. Sehingga konsekuensi dari SEMA tersebut menyebabkan permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang rumah susun tidak lagi dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, melainkan secara biasa ke Pengadilan Negeri.

Akan tetapi, ketentuan ini dapat menimbulkan permasalahan baru bagi Para Hakim dalam menerapkannya, apakah ketentuan ini ditujukan untuk semua pihak yang akan mengajukan permohonan pailit atau PKPU kepada pengembang rumah susun? Atau ditujukan untuk melindungi konsumen yang sering dirugikan dalam hal pengembang rumah susun dipailitkan?. Apabila ditujukan untuk semua pihak tentu banyak pihak akan merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut, terlebih apabila adanya perjanjian utang piutang yang menurut Para Hakim memang dapat dibuktikan secara sederhana.

Tentu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah Para Hakim harus terikat dengan SEMA tersebut? Mengingat hakim memilki kebebasan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara tanpa dipengaruhi kekuasaan apapun termasuk ketua hakim pengadilan yang lebih tinggi tidak memiliki hak untuk mengintervensi dalam soal peradilan yang dilaksanakannya[5]. Hal ini akan menimbulkan dilema kepada Para Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, disatu sisi Para Hakim memiliki kebebasan dalam tugas pelaksanaan peradilan dan disisi lain Para Hakim sebagai pegawai negeri yang berada dalam naungan MA terikat dengan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Ketua MA.

Adanya SEMA ini sedikit banyaknya mengurangi diskresi atau kebebasan bagi Para Hakim untuk menafsirkan makna “pembuktian secara sederhana” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. Akan tetapi, Para Hakim seharusnya tidak memiliki kewajiban atau keterikatan untuk selalu berpedoman pada SEMA tersebut, mengingat SEMA tidak berada dalam tingkatan yang sama atau diatas Undang-Undang. Sehingga SEMA tidak memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan Undang-Undang.

Oleh karena itu, adanya SEMA No 3 Tahun 2023 dapat memberikan pedoman kepada Para Hakim untuk memeriksa perkara permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun. Meskipun begitu, Para Hakim tetap memiliki freedom of judge dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan hukum tanpa harus selalu mengacu pada SEMA tersebut.


[1] Aria Suyudi, dkk. dalam PUSLITBANG Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung Ri, Interpretasi Tentang Makna “Utang Jatuh Tempo” Dalam Perkara Kepailitan, 2013, hlm. 239.

[2] Rio Christiawan, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Depok: Rajawali, 2020, hal 106.

[3] Ibid

[4] Bagir Manan dalam Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, https://jdih.bappenas.go.id/data/file/WORKSHOP_Peraturan_kebijakan_di_Kementerian_PPN_bappenas.pdf, diakses pada 29 Januari 2024.

[5] Zubaidah, Memaknai “Freedom of Judge” dalam Kewenangan Hakim, https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/memaknai-freedom-of-judge-dalam-kewenangan-hakim-oleh-hj-st-zubaidah-s-ag-s-h-m-h-3-10, diakses pada 24 Januari 2024.

Leave a Reply

× How can I help you?